Thursday 8 March 2012

Beato Dionisius a Nativitate & Beato Redemptus a Cruce "Martir Indonesia"

Pierre Berthelot (Jr) dilahirkan di kota pelabuhan Honfleur, Calvados, Perancis, pada tanggal 12 Desember 1600. Ia adalah yang sulung dari sepuluh anak pasangan Pierre Berthelot (Sr) dan Fleurie Morin. Ayahnya seorang dokter dan kapten kapal.

Sejak usia duabelas tahun, Pierre telah mengikuti ayahnya mengarungi samudera luas. Pada tahun 1619, ketika usianya sembilanbelas tahun, Pierre yang telah menjadi seorang pelaut ulung ikut berlayar dalam suatu ekspedisi dagang Perancis ke India sebagai ahli navigasi. Malang, kapalnya diserang VOC Belanda dan ia dibawa sebagai tawanan ke Jawa. Setelah bebas, Pierre menetap di Malaka, di mana ia bekerja pada angkatan laut Portugis. Pierre seorang yang gagah berani dan jenius; karirnya begitu gemilang. Raja Portugis menyebutnya sebagai “ahli navigasi dan pembuat peta Asia” yang luar biasa. Peta-peta laut yang dibuatnya amat terkenal, antara lain peta pulau Sumatera yang hingga kini disimpan di Museum Inggris. Ekspedisi pelayaran kerap membawanya ke Goa, India, di mana ia berkenalan dengan Biara Karmel Tak Berkasut dengan kepala biaranya, P Philip dari Trinitas. Pada tahun 1634, ketika usianya tigapuluh empat tahun, Pierre meninggalkan karirnya untuk menggabungkan diri dalam Biara Karmel. Pada tanggal 25 Desember 1636, ia mengucapkan kaulnya dan menerima nama biara Dionisius a Nativitate. Dionisius mendapat karunia kontemplasi; pada lebih dari satu kesempatan, pada saat berdoa, ia tampak dilingkupi oleh semarak surgawi. Di Biara Karmel itulah, Dionisius bertemu dengan Redemptus a Cruce.

Thomas Rodriguez da Cunha, dilahirkan di Paredes, Portugal pada tahun 1598, putera dari pasangan petani yang miskin namun saleh. Ia masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Pada tahun 1615, Thomas meninggalkan karirnya untuk menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Goa. Ia menjadi seorang broeder Karmel dengan nama Redemptus a Cruce, yang melayani sebagai portir [= penjaga pintu] dan sakristan. Redemptus adalah seorang yang amat menyenangkan, bersahabat dan periang. Ketika ditugaskan pergi dalam ekspedisi ke Sumatera, ia berkelakar dengan teman-teman sebiara agar mereka melukis dirinya, kalau-kalau ia nanti wafat sebagai martir.

Pada tahun 1638 Raja Muda Portugis di Goa, Peter da Silva, bermaksud mengirim utusan ke Aceh, yang baru saja berganti penguasa dari Sultan Iskandar Muda ke Sultan Iskandar Thani. Ia bermaksud menjalin hubungan persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu tidak begitu baik. Raja Muda meminta Karmelit untuk mengijinkan Dionisius ikut dalam rombongan delegasi sebagai pembimbing rohani, sekaligus sebagai ahli maritim, pula seorang yang fasih berbicara bahasa Melayu. Komunitas Karmel harus taat pada keputusan pemerintah. Karenanya, studi Dionisius dipercepat agar ia dapat ditahbiskan sebagai imam. Dan akhirnya, pada tanggal 24 Agustus 1638, Dionisius ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Alfonso Mendez. Untuk perjalanan ke Aceh ini, P Dionisius minta ijin agar Broeder Redemptus diperkenankan ikut bersamanya sebagai rekan seperjalanan.

Pada tanggal 25 September 1638, Pater Dionisius dan Broeder Redemptus pun meninggalkan Goa bersama rombongan misi perdamaian dan perdagangan Portugis. Perjalanan yang lancar membawa mereka tiba dengan selamat di Aceh pada tanggal 25 Oktober 1638. Mereka berlabuh di Ole-Ole (sekarang bernama Kotaraja) dan disambut dengan ramah oleh penduduk setempat. Tetapi keramahan masyarakat Aceh ternyata hanya merupakan tipu-muslihat saja. Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang untuk mengkatolikkan bangsa Aceh yang sudah memeluk agama Islam. Sekonyong-konyong kedua biarawan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara hingga sebulan lamanya. Karena tetap menolak untuk mengingkari iman, kedua biarawan dijatuhi hukuman mati. Di pesisir pantai, P Dionisius, dengan salib di tangannya, dipaksa menyaksikan mereka menggorok leher Redemptus yang lebih dulu menjadi martir. Selanjutnya, algojo yang beringas dengan sekuat tenaga menghunuskan kelewang dan tombak ke arah Dionisius. Tetapi sungguh ajaib, seolah ada suatu kekuatan dahsyat yang menahan, sehingga para algojo tidak berani maju. Sadar akan hal itu, P Dionisus segera mengatupkan kedua tangannya berdoa memohon kepada Tuhan agar kerinduannya menjadi seorang martir dikabulkan. Dan permohonan orang kudus ini didengarkan Tuhan. Seorang algojo - seorang Kristen Malaka yang murtad - mengangkat gada dan disambarkan keras-keras ke kepala P Dionisius, disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.

Kemartiran Dionisius dan Redemptus sungguh berkenan di mata Tuhan. Selama tujuh bulan, jenazah tidak hancur, melainkan tetap segar seolah sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah P Dionisius amat merepotkan masyarakat sekitar, karena setiap kali dibuang, entah ke dalam laut maupun ke tengah hutan, senantiasa kembali lagi ke tempat di mana ia dimartir. Akhirnya, jenazah dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien (`pulau buangan') dan di kemudian hari dipindahkan ke Goa, India. Para saksi iman itu wafat sebagai martir pada tanggal 29 Nopember 1638. Dionisius dan Redemptus dimaklumkan sebagai `beato' oleh Paus Leo XIII pada tanggal 10 Juni 1900. Pesta kedua biarawan Karmel ini dirayakan oleh segenap Karmelit pada tanggal 29 November. Di Indonesia, pesta B Dionisius dan B Redemptus dirayakan sebagai peringatan wajib setiap tanggal 1 Desember.


Sumber : http://yesaya.indocell.net/

0 comments:

Post a Comment